2.1 Birokrasi dan Permasalahan
            Salah satu dari sepuluh pola untuk memahami birokrasi menurut jan-erik lane dalam tulisannya yang berjudul “introduction: the concept of bureaucracy” dalam bureaucracy and public choice (1987:1-31) adalah professional administration (administrasi profesional. Administrasi profesional merupakan pendetan sosiologis yang memandang birokrasi sebagai sebuah bagian dari tipe organisasi. Referensi utamanya adalah tipe ideal birokrasi max weber yang memuat sejumlah unsur berikut:
·         Pembagian divisi pegawai yang terdefinisi secara jelas
·         Struktur otoritas impersonal
·         Memiliki jenjang hirarki
·         Bergantung pada aturan formal
·         Menggunakan sistem merit pada pegawai
·         Ketersediaan karir
·         Pemisahan jarak antara kehidupan sebagai anggota organisasi dan kehidupan pribadi.
Max weber menyatakan pula bahwa sebagai bentuk representasi organisasi, aktifitas birokrasi merupakan rasionalisasi aktifitas kolektif guna mencapai tingkatan tertinggi dari efesiensi.
Dalam konteks birokrasi pemerintahan, randall B. Ripley dan grace A. Franklin dalam bukunya Policy implementation and bureaucracy (1982:32) menyatakan bahwa birokrasi pemerintahan berhubungan dengan urusan-urusan publik. Pada level yang umum, apabila birokrasi memberikan  pelayanan publik dengan baik maka birokrasi tersebut mampu menunjukkan sejumlah indikasi perilaku berikut:
·         Memproses pekerjaannya secara stabil dan giat
·         Memperilakukan individu yang berhubungan dengannya secara adil dan berimbang
·         Mempekerjakan dan mempertahankan pegawai berdasarkan kualifikasi profesional dan orientasi terhadap keberhasilan program.
·         Mempromosikan staff berdasarkan sistem merit dan hasil pekerjaan baik yang dapat dibuktikan
·         Melakukan pemeliharaan terhadap prestasi yang sudah dicapai sehingga dapat segera bangkit bila menghadapi keterpurukan.
      Sedangkan tujuan penyediaan birokrasi pemerintahan sebagai diuraikan oleh ripley dan franklin (1982) adalah sebagai berikut :
·         Menyediakan sejumlah layanan sebagai hakikat dari tanggung jawab pemerintah
·         Memajukan kepentingan sektor ekonomi spesifik seperti pertanian, buruh atau segmen tertentu dari bisnis privat.
·         Membuat regulasi atas berbagai aktifitas privat
·         Meredistribusikan sejumlah keuntungan seperti pendapat, hak-hak, perawatan medis dll.
2.2 Perjalanan Reformasi Birokrasi Indonesia Dari Waktu Kewaktu
Reformasi birokrasi pertama kali dilaksankaan oleh nagara kesatuan republik indonesia adalah pada era pemerintahan soekarno, tepatnya pada tahun 1962 yaitu dengan dibentuknya panitia retooling aparatur negara. Panitia retooling aparatur negara dibebani tugas untuk mengoptimalisasikan fungsi birokrasi dalam penyediaan pelayanan publik. Upaya tersebut menjadi kandas sebab intervensi politik pada saat itu terlalu mengkooptasi dalam birokrasi sehingga terjadi ketampakan bias peran birokrasi yang mengemuka.
2.3 Redefinisi Reformasi Birokrasi
Dalam kajian kebijakan publik, kita mengenal teori pengambilan keputusan inkremental yang diperkenalkan oleh chrales lindblom melalui artikelnya yang berjudul the science of muddling trough dalam public administration riview seri 48 yang terbit pada tahun 1959. Teks ini mungkin masih menjadi satu-satunya kontribusi terpenting dalam pembentukan teori proses pembuatan kebijakan. Salah satu yang disarankan oleh lindblom dalam teks tersebut adalah tidak henti-hentinya melakukan pendefinisian ulang terhadap sebuah permasalahan. Sebab informasi masalah sosial terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Oleh karenanya, permasalahan reformasi birokrasi perlu untuk ditinjau kembali keberadaan masalahnya secara faktual serta kebutuhan pembenahannya dalam porsi yang tepat.
Aspek pertama yang perlu diperhintungkan dalam melakukan reformasi birokrasi adalah berkaitan dengan paradigma teoritikal kajian birokrasi yang lebih condong pada structural efeciency. Perspektif tersebut secara empiris berkontradiksi dengan metode pembentukan pemerintah baik pada tingkat lokal maupun nasional. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa semenjak amandemen UUD 1945 pembentukan pemerintahan dilakukan melalui instrumen demokrasi yang bernuansa politis yaitu pemilihan presiden secara langsung (pilpres). Sedangkan pada tingkat lokal, sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah maka kita dikenalkan dnegan pemilihan kepala daerah (pilkada). Baik pilkada maupun pilpres dalam ranah demokrasi memang menunjukan peningkatan kualitas pelibatan masyarakat secara lebih optimal dalam membangun pemerintahan yang relatif lebih sesuai dengan harapan publik. Namun, perlu juga direnungkan bahwa gus dur maupun megawati pernah datang diranah pemerintahan tertinggi diindonesia tettapi kemudian mereka pergi lagi. Sedangkan pada sisi yang lain kita dapat melihat bahwa birokrasi sifatnya relatif permanen, birokrasi tidak datang dan pergi seperti apa yang dilakukan oleh gus dur dan megawati. Sifat permanensi  birokrasi inilah yang kemudian perlu dipahami sebagai kerangka pikir kita dalam melakukan reformasi birokrasi diindonesia. Dibutuhkan kesinambungan agenda reformasi birokrasi maupun renzim pemerintahan silih berganti menduduki kekuasaan. Maka salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah profesionalitas birokrasi. Artinya, birokrat diharapkan tetap bekerja secara optimal dalam mengimplementasikan kebijakan meskipun orang yang duduk ditampuk pemerintahan tidak sesuai dengan preferensi politiknya.
            Aspek kedua yang perlu diperhatikan adalah efek pasca pilkada dan pilpres. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa aktifitas yang syarat dengan muatan politis akan berimbas politis pula terhadap aspek-aspek lainnya setelah aktifitas tersebut usai dilaksanakan.
            Aspek ketiga adalah komitmen politik yang berlaku sama bagi siapa saja yang hendak terjun dalam arena politik.
            Aspek keempat adalah perubahan kerangka pikir birokrat yang masih mewarisi nilai-nilai feodalisme dimana para birokrat masih berpikir bahwa tugas merka adalah untuk mengendalikan dan mengawasi prilaku publik. Sebab, kerangka pikir yang demikian, akan melahirkan perilaku yang cenderung untuk mengabdi pada kepentingan penguasa bukan pada upaya yang serius untuk melakukan akselerasi peningkatan kualitas pelayanan publik.
2.4 Pengaruh Political Will Pemerintah Terhadap Reformasi Birokrasi
Political will pemerintah yang berkuasa dapat juga dijadikan tolak ukur untuk meninjau tingkat keseriusan dalam menjalankan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi sama sekali tidak pernah dibicarakan dalam kampanye politik mereka. Tidak ada satupun dari para kandidat yang menjanjikan reformasi administrasi, pembenahan budaya birokrasi, atau simplikasi prosedural saat mengurus berbagai perizinan. Oleh karenanya, tidak ada komitmen yang tegas terhadap pembenahan pemerintahan dari dalam.
            Wacana lainnya adalah pemberantasan korupsi. Pada satu sisi korupsi diberantas seperti yang terjadi dikomisi pemilihan umum tetapi pada sisi yang lain birokrasi perintahan yang lebih rentan dengan korupsi yaitu inefesiensi penggunaan anggaran negara tidak pernah dibenahi secara tuntas. 
2.5 Dikotomi Politik-Administrasi
Woddrow wilson dalam tulisannya the study of administration pada political science quarterly (1887) menyatakan bahwa tujuan awal pemisahan administrasi publik dari ilmu politik adalah untuk menciptakan birokrat yang profesional dalam menyediakan pelayanan publik yang prima tanpa harus membedakan “warna politik” warganegaranya. Hal ini dimaksudkan agar negara berada pada posisi yang netral sehingga memberikan perlakuan yang adil (equity) kepada publik sehingga agregasi warganegara.
Oleh karenanya, muara reformasi birokrasi dalam konteks awalnya adalah optimalisasi penjaringan infilitrasi kepentingan politik dalam ranah administrasi dimana ranah administrasi merupakan lahan bagi birokrasi melakukan tugas utamanya yakni mengimplementasikan kebijakan artinya proses politik cukup terjadi pada saat perumusan kebijakan hingga kebijakan tersebut disepakati.
2.6 Reformasi Birokrasi Melalui Revitalisasi Konsep Publik
Titik kajian yang perlu dikembangkan tidak lagi berfokus pada dikotomi politik dan administrasi, melainkan bagaimana mengkreasi administrasi yang profesional yakni kemampuan birokrasi untuk tampil prima dalam memberikan pelayanan untuk menjawab tantangan tersebut, maka kita dapat menggunakan pendekatan revitalisasi konsep publik yang ditawarkan oleh federickson.
2.7 Publik Dalam Sudut Pandang Etimologis
Dalam pola bahasa indonesia dalam menterjemahkan public transportation yang dimaknai sebagai kendaraan umum atau public administration yang diterjemahkan sebagai administrasi negara.
Secara etimologis public berasal sebuah kata dalam bahasa yunani yakni “pubes” yang berarti kedewasaan secara fisik, emosional maupun intelektual . dalam perspektif sosiologi & psikologi istilah “pubes” seringkali disebut dalam terma lain yakni “puber” terma puber kemudian diinterpretasikan sebagai tahapan kehidupan sosial dalam masa transisi dimana yang mulanya berorientasi pada diri sendiri menjadi memikirkan orang lain diluar dirinya.

2.8 Publik Versus Privat
Pendekatan lain untuk memahami konsep publik dapat dilakukan dengan cara membedakannya dengan konsep privat. Namun, hingga saat ini masih terdapat perbedaan argumen yang mendasar diantara scholars tentang apa yang dianggap sebagai “publik” dan apa yang dianggap sebagai “privat” oleh karenanya, kita perlu memilih pijakan awal yang tepat untuk memulai pengkajian kita terhadap pembedaan konsep publik dan privat.
Gagasan politik dan privat pada masa yunani kuno diekspresikan dalam istilah koinion (yang dapat diartikan publik) dan idion (yang dapat diartikan privat).
Tabel 1
Publik versus privat
Publik
Privat
Polis
Rumah tangga
Kebebasan
Keharusan (necessity)
Pria
Wanita
Kesetaraan
Kesenjangan
Keabadian
Kesementaraan
Terbuka
Tertutup

2.9 Barang Publik
Pendekatan berikutnya dalam menganalisis sektor publik adalah melalui barang-barang (goods). Barang publik adalah barang atau jasa yang tersedia untuk semua orang. Barang publik murni adalah barang yang dikonsumsi berdasarkan pilihan bebas dan hanya oleh orang-orang yang mampu membayarkan. Samuelson dalam tulisannya yang berjudul the pure theory of public expenditure pada riview of economic and statistic (1954) mengatakan bahwa karakteristik utama barang publik adalah barang barang tersebut dapat dibagikan artinya barang tersebut tersedia untuk semua orang dan bersifat non-ekslusif. Barang-barang publik dibayar dengan pajak dan pinajman, selain itu harganya bisa dinyatakan dalam tingkat pajak yang diperlukan untuk membiayai produksi barang-barang tersebut. Sedangkan barang privat dibayar melalui sistem harga yang berlaku dipasar.
2.10 Lima Perspektif Publik
Secara faktual proses politik dan administrasi sulit untuk dipisahkan . oleh karenanya, titik kajian yang perlu dikembangkan tidak lagi berfokus pada dikotomi politik dan administrasi, melainkan bagaimana mengkreasi administrasi yang profesional yakni kemampuan birokrasi untuk tampil prma dalam memberikan pelayanan. Frederickson (1997)kemudian menawarkan pendekatan revitalisasi konsep publik melalui lima prespektif publik yaitu:
Pertama, perspektif pluralis (the pluralist perspective). Dalam perspektif ini publik dipandang sebagai konfigurasi dari berbagai kelompok kepentingan artinya setiap orang yang memiliki kepentingan sama akan bergabung untuk membentuk suatu kelompok.
Kedua, perspektif pilihan publik (the public choice theory). Perspektif ini berakar pada pemikiran eonomi neoklasik yang mengasumsikan manusia sebagai individu rasional yang memaksimalkan kegunaan bagi diri mereka sendiri untuk mencapai kesejahteraan.
Ketiga, perspektif lagislatif (legislative perspective). Perspektif legislatif memandang bahwa publik dapat direpresentasikan melalui parlemen.
Keempat, perspektif penyedia layanan (the service providing perspective). Dalam perspektif ini, publik dipandang sebagai target dari layanan artinya street level bureucrats bertugas untuk memberikan pelayanan kepada publik yang terdiri dari individu dan kelompok.
Kelima, perspektif kewarganegaraan (the citizen perspective). Konsep kewarganegaraan mendapatkan tempat yang cukup istimewa dalam kajian administrasi publik modern.

















0 komentar:

Posting Komentar